kemajemukan umat

ISLAM, NEGARA DAN KEMAJEMUKAN UMAT








Dosen Pengampu : Dra. Hj. Nafilah Abdullah, M.Ag

Makalah Di Buat Untuk Memenuhi Tugas SKI dan Budaya Lokal.

Disusun oleh: 
 

Andre Hanura                         (16540032)
Diki Noras Habibi                             (16540033)




.


PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA

2017

A.  Latar Belakang Masalah
Masyarakat Indonesia di kenal sebagai masyarakat yang majemuk karena memiliki beragam suku bangsa, etnis, bahasa, serta agama. Semuanya secara keseluruhan melebur menjadi satu, menjadi kebudayaan nasional Indonesia. Kondisi ini tentu menjadi kebanggan tersendiri bagi Indonesia, karena memiliki banyak kekayaan budaya nasional yang membanggakan dan tidak di miliki oleh negara lain di seluruh dunia. Namun di sisi lain kemajemukan masyarakat Indonesia rentan sekali akan terjadinya konflik. Entah itu konflik yang bersifat destruktif maupun konstruktif.
Konflik yang bersifat destruktif seperti peperangan yang terjadi antara suku sampang di madura dan suku sampit di kalimantan yang menewaskan ratusan korban jiwa. Peristiwa ini terjadi karena melekatnya etnosentrisme dalam diri kedua kubu sehingga peperangan sulit untuk di hindarkan. Situasi seperti ini tentu dapat mengakibatkan disintegrasi bangsa. Kemajemukan masyarakat Indonesia jika di lihat secara jernih maka akan menghasilkan sesuatu yang positif. Suatu perbedaan bukanlah halangan untuk menjadi satu kesatuan yaitu Indonesia. Jika cara berfikir jernih seperti ini di miliki oleh banyak orang, maka Indonesia akan menjadi suatu negara yang berintegritas tinggi dan bermatabat di dunia.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki banyak agama, di antaranya agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Namun dari sekian banyak agama yang berada di Indonesia, agama Islam menjadi agama terbesar yang di anut oleh masyarakat Indonesia. Bahkan Indonesia merupakan negara muslim terbesar di seluruh Dunia. Indonesia juga merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di seluruh Dunia setelah Amerika, dan India. Demokrasi yang hebat telah di tunjukkan Indonesia pada tanggal 2 Desember 2016, atau yang lebih di kenal sebagai aksi super damai 212. Dimana ratusan ribu orang dari seluruh penjuru Indonesia datang ke Jakarta Untuk menuntut sebuah keadilan yang ada di negara demokrasi ini. Mereka merasa tersakiti dengan ucapan seorang Gubernur yang menistakan agama Islam, dan mereka menuntut aparatur negara untuk memproses secara hukum kepada tersangka kasus penistaan agama yang menyeret seorang Gubernur di Ibukota Jakarta. Aksi yang di ikuti jutaan orang ini berlangsung secara damai. Tidak ada kericuhan yang terjadi pada aksi ini, bahkan sampah yang di bawa massa yg begitu banyak terlihat bersih setelah aksi super damai ini berakhir. Aksi ini mendapatkan apresiasi dari dunia. Karena aksi yang di ikuti oleh jutaan orang tersebut bisa berlangsung secara damai. Dunia kagum kepada Indonesia yang menjalankan demokrasi dengan sangat baik.
Umat Islam sebagai agama yang mayoritas di Indonesia  telah memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi tegaknya negara, dan terpeliharanya integrasi nasional namun tidak jarang juga terjadi ketegangan sosial antara umat Islam dengan non-Islam, terutama karena persoalan penyebaran agama yg bertemu dengan faktor lainya dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu kemajemukan dalam Islam dan kemajemukan dalam masyarakat di Indonesia jika tidak di kelola menjadi kekuatan yang positif, maka akan menimbulkan disintegrasi bangsa, serta akan melahirkan citra negatif bagi Islam, dan citra negatif bagi demokrasi di Indonesia.




B.  Rumusan Masalah
1.      Apakah demokrasi dapat di terapkan di dunia Islam ?
2.      Bagaimana korelasi antara Islam, Negara dan kemajemukan umat ?


C.   Demokrasi dan Dunia Islam
Tidak perlu mengenal dekat sejarah politik arab atau muslim untuk mengetahui bahwa banyak negara muslim sekarang ini tidak demokratis. Rezim otoriter lebih mengandalkan militer dan pasukan keamanan dari pada kotak suara untuk memastikan kelangsungan pemerintahan mereka. Mereka membatasi kebebasan berbicara, pers, media, dan permusyawarahan. Ketika banyak pejabat pemerintahan, analis politik, dan jurnalis berpandangan sekular di barat mendengar kaum muslim angkat bicara mengenai peran agama dalam politik dan kemasyarakatan, mereka melabeli para muslim ini dengan “fundamentalis” artinya kaum ini kaku ,anti modern, fanatis terbelakang yang hanya mau menerapkan negara islam.[1]
Impian menegakkan Khilafah Islamiyah (Negara Islam) di Indonesia menemukan momentumnya lagi seiring dengan gerakan reformasi 1998 yang membuka kembali keran kebebasan beraspirasi dan berpendapat. Reformasi yang memulangkan kembali demokrasi Indonesia ke rumah kebebasanya bagaikan siraman hujan pada bibit Khilafah sehingga ia bertunas lagi dengan cukup suburnya. Kampanye Khilafah ini, menusuk langsung ke jantung pluralitas Indonesia, dengan karakter Ideologi yang militan, bahkan tak segan melakukan propaganda, sehingga pertumbuhanya memang tidak layak di abaikan.[2]
Kita lupa bahwa demokratisasi adalah proses yang tidak beraturan dan berpotensi bahaya. Yang di alami barat merupakan proses Trial and Error, diikuti perang saudara dan konflik intelektual serta keagamaan. Pemerintah otoriter bisa jadi mampu menghindari atau menghambat proses perubahan, meskipun demikian, mereka hanya akan menunda hal-hal yang tak terelakkan.[3]Islam berada dalam posisi yang kontroversial. Di satu sisi, ia di harapkan mampu mendorong lahirnya sikap-sikap inklusif dalam proses demokrasi dan demokratisasi. Di sisi yang lain, Islam justru menjadi kendala serius bagi munculnya sikap inklusif itu, ketika ia mementingkan dirinya sendiri dalam bentuk simbol-simbol dan pelembagaan agama yang kaku.
Diskurusus demokrasi dalam agama (yang telah terlembaga) merupakan persoalan yang rumit dalam tradisi Islam. Persoalanya bermula dari hubungan agama dan negara yang tidak tuntas dalam Islam. Berbeda dengan pengalaman kristen yang cukup tegas memisahkan wilayah agama (Gereja) dan negara, pengalaman Islam memperlihatkan hubungan agama dan negara yang agak samar.[4]


Berbicara mengenai pantas atau tidakkah demokrasi di terapkan dalam dunia islam alangkah baiknya kita melihat sejarah terlebih dahulu. sejarah Islam pada saat zaman Rasulullah berkuasa dan para khalifah menjadi penguasa sesudah Rasulullah juga telah menerapkan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Seperti contoh pada zaman Rasulullah terjadi peristiwa Aqabah I dan II, yang pada peristiwa tersebut Nabi Muhammad diangkat menjadi imam oleh utusan dari Madinah yang dilanjutkan dengan peristiwa hijrah. Alangkah miripnya kedua peristiwa baiat itu dengan kontrak-kontrak sosial yang di deskripsikan secara teoritis oleh sebagian filosof politik pada era modern serta dianggap sebagai fondasi bagi berdirinya negara-negara dan pemerintahan serta nilai-nilai demokrasi juga telah diterapkan pada era kepemimpinan Rasulullah. dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa islam menggunakan prinsip-prinsip demokrasi walaupun Islam tidak menggunakan system demokrasi secara eksplisit. Atau lebih mudahnya dapat dikatakan bahwa Islam sangat demokratis tapi tidak menganut system.[5] Contoh konkrit lainya adalah Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di seluruh dunia dan Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di seluruh dunia setelah Amerika dan India.


D.  Korelasi Islam, Negara dan Kemajemukan Umat
Kemajemukan dalam kehidupan sosial dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW pada saat  beliau dipercaya untuk memimpin masyarakat Madinah. Masyarakat Madinah adalah masyarakat yang plural. Mereka terdiri atas berbagai suku dan agama.Oleh karena  itu, kehidupan di Madinah dibangun atas dasar konsensus yang kemudian dituangkan dalam ‘konstitusi’yang kemudian dikenal dengan sebutan Piagam Madinah. Dalam Piagam Madinah ini disebutkan bahwa semua pemeluk Islam, meskipun berasal dari banyak suku, tetapi  merupakan satu komunitas. Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dengan  anggota  komunitas-komunitas lain  didasarkan atas  prinsip-prinsip : (a)bertetangga dengan baik,(b)saling membantu dalam menghadapi musuh bersama,(c)membela mereka yang teraniaya,(d)saling menasihati, Dan (e)menghormati kebebasan beragama. Satu  hal  yang  patut dicatat  bahwa Piagam Madinah yang oleh banyak pakar politik didakwakan sebagai konstitusi Negara Islam yang pertama itu tidak menyebut agama Negara.[6] Piagam Madinah juga memberikan hak yang setara terhadap warga negara muslim dan non-muslim, mereka sama-sama  terikat  untuk  mempertahankan dan membela negara.
Secara teoritik dapat di bedakan tiga paradigma pemikiran mengenai relasi agama Islam dan Negara. Pertama paradigma Integralistik yang menempatkan agama dan negara sebagai kesatuan yang utuh. Wilayah agama meliputi politik atau negara. Kedaulatan berasal dan berada di tangan Tuhan. Kedua paradigma simbiotik yang menempatkan relasi agama dan negara bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Ketiga paradigma sekularistik yang mengajukan pemisahan agama atas negara dan pemisahan negara atas agama.



Dengan berpijak pada kerangka pemikiran diatas paradigma manakah yang cocok dengan demokrasi ? untuk menjawab pertanyaan ini perlu di ajukan tiga prisip pokok demokrasi yaitu pemerintahan milik rakyat, pemerintahan dari rakyat, dan pemerintahan untuk rakyat (Ignas Kleden : 5). Pemerintahan yang tidak berasal dari rakyat di sebut pemerintahan yang tidak mempunyai legitiminasi. Pemerintahan yang tidak di jalankan oleh rakyat di sebut pemerintahan yang otoriter. Pemerintahan yang di jalankan tidak untuk rakyat di sebut pemerintahan korup. Dengan tiga hal di atas, kita dapat menguji apakah pemerintahan bisa di sebut demokratis atau tidak. Jika kita menggunakan parameter tersebut maka paradigma integralistik tidak cocok dalam demokrasi modern. Dengan demikian, dua paradigma terakhir (simbiotik dan sekularistik), dapat di kembangkan dalam demokrasi kontemporer.[7]
Perdebatan tentang khilafah aslinya telah selesai di awal pembentukan NKRI melalui sosok M. Natsir dan Soekarno. Hasilnya dengan besar hati, kubu muslim menerima Pancasila sebagai asas nation state Indonesia yang sudah sangat islami. Pancasila secara substansif sudah sesuai dengan prinsip khilafah yang amar makruf nahi munkar dan hirasah al-din wa siyasah al-dunya. Sistem demokrasi Pancasila yang kita anut sudah sangat islami, dan karenanya tidak relevan untuk di dobrak dengan dalih syariah atau ideologi apapun. Sistem pemerintahan di indonesia sudah sangat sesuai dengan nilai-nilai Qur’ani dan Keteladanan Rasulullah, sehingga sepatutnya semua ummat Islam di Indonesia menerima dan mendukung Pancasila sepenuh hati. Peran politik Ummat Islam di Indonesia ini justru akan lebih produktif dan konstruktif bila di arahkan sebagai pengontrol kebijakan politik pemerintah demi tegaknya amar makruf nahi munkar dan hirasah al-din wa siyasah al-dunya dalam setiap periode kepemimpinan negeri ini. Menurut Ibnu Taimiyah tujuan utama pendirian negara ialah penegakan amar makruf nahi munkar,yang secara simbolik mengerucut pada prisip “keadilan”. Dengan mantap Ibnu Taimiyah menegaskan : “Allah akan menegakkan negara yang adil meskipun kafir, dan menghancurkan negara yang zhalim meskipun muslim”.[8]
Islam dan Negara adalah sesuatu yang sangat erat kaitanya, keduanya tidak bisa di pisahkan satu sama lain dan harus saling berkorelasi supaya kemejemukan masyarakat dapat terwujud dengan baik dan tanpa ketimpangan sedikitpun, menghargai sesuatu perbedaan yang ada dalam masyarakat Indonesia yang beragam, adalah kunci utama dalam menjaga kemajemukan umat. Sebagai contoh, ketika kita mempercayai  pengobatan akupuntur kita tidak harus percaya konsep yin yang dan Taoisme. Ketika melakukan pengobatan herbal medicine kita tidak harus percaya kepada Hinduisme Bali. Ketika kita melakukan olahraga Yoga kita tidak harus percaya Hinduisme,[9] dan masih banyak contoh lain. Jika kita memandang secara jernih kemajemukan yang ada pada masyarakat Indonesia, maka konflik horizontal yang ada dalam masyarakat dengan mudah dapat di redam dan akan menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang bermatabat dan berintegritas di mata Dunia.
E.  Kesimpulan
Islam, Negara, dan Kemajemukan umat adalah ketiga komponen yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain. Kemajemukan umat yang positif dapat terjadi melalui Islam, karena dalam Islam perihal mengenai Toleransi di kupas secara jelas dan detail. Dengan kata lain mayoritas Islam di Indonesia berpengaruh besar terhadap kemajemukan yang ada di Indonesia. Jika mayoritas Islam di Indonesia memandang kemajemukan secara jernih maka Indonesia akan menjadi Negara yang adil dan beradab, begitupun sebaliknya, jika kemajemukan di pandang menggunakan kacamata kuda, maka konflik yang terjadi akan terus berkepanjangan dan sulit untuk di redam. Maka janganlah mencari segala perbedaan yang ada dalam diri orang lain, namun carilah kesamaanya walaupun itu sedikit.































DAFTAR PUSTAKA

Esposito, John. 2010. Masa depan Islam. Bandung : Mizan.

Iyubenu, Ide. 2015. Berhala-berhala wacana. Yogyakarta : IRCiSoD.

Kuntowijoyo. 2007. Islam sebagai ilmu. Yogyakarta : Tiara wacana.

Romzi,Ariansyah.2013.“Menegakkan Islam melalui demokrasi”. Dalam http ://www.kompasiana.com. diakses pada 28 Februari 2017.

Sjadzali, Munawir. 1990. Islam dan tata negara. Jakarta : UI Press.

Yusuf, Mundzirin, dkk. 2005. Islam budaya lokal. Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan      Kalijaga




[1] John Esposito. Masa depan Islam. Bandung : Mizan. 2010. hlm 221
[2] Ide Iyubenu. Berhala-berhala wacana. Yogyakarta: IRCiSoD. 2015. hlm 76-77
[3] John Esposito. Masa depan Islam. Bandung : Mizan. 2010. hlm 226-227
[4] Mundizirin Yusuf dkk. Islam budaya lokal. Yogyakarta : Pokja akedemik UIN Sunan Kalijaga. 2005. hlm 74.
[5] Ariansyah Romzi. Menegakkan islam melalui demokrasi”. Dalam http://www.kompasiana.com. Di akses pada 28 Februari 2017. 2013
[6] Munawir Sjadzali.  Islam dan tata negara. Jakarta : UI Press. 1990.  hlm 16
[7] Mundizirin Yusuf dkk. Islam budaya lokal. Yogyakarta : Pokja akedemik UIN Sunan Kalijaga. 2005. hlm 74-76.

[8] Ide Iyubenu. Berhala-berhala wacana. Yogyakarta:  IRCiSoD. 2015. hlm 80-81
[9] Kuntowijoyo. Islam sebagai ilmu. Yogyakarta : Tiara wacana. 2007.  hlm 55 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konflik Mahasiswa Papua Di Yogyakarta

Tujuan dan kegunaan studi agama agama

Egalitarianisme